Jumat, 06 November 2015

Hipoglikemia dan Tetanus Neonatorum


A. HIPOGLIKEMI
a. Definisi Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah. Keadaan kadar dimana kadar glukosa darah <60 mg/dL, atau kadar glukosa darah , <80 mg/dL, dengan gejala klinis. (Ai Yeyeh dan Lia. 2012)
Hipoglikemia adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL. (Dwi Maryanti.dkk. 2011)
Hipoglikemia adalah masalah serius pada bayi baru lahir, dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksia otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.
Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. Pada diabetes, kadar gula terlalu tinggi; pada hipoglikemia, kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula rendah menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi. 
Otak merupakan organ yang sangat peka terhadap kadar gula darah yang rendah karena glukosa merupakan sumber energi otak yang utama. Otak memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah dan melalui sistem saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hal ini akan merangsang hari untuk melepaskan gula agar kadarnya dalam darah tetap terjaga. Jika kadarnya menurun maka, akan terjadi gangguan fungsi otak.
Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan diabetes melitus. Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada. Karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gannguan pernafasan.(Ai Yeyeh dan Lia. 2012)
b. Etiologi Hipoglikemia
1. Hipoglikemia sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah.
2. Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir dimana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsilinism) sehingga terjadi hipoglikemia.
3. Hipoglikemia adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan smpai kematian.
4. Kejadian hipoglikemia lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan diabetes melitus.
5. Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.
6. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernafasan. (Dwi Maryanti. Dkk. 2011)

c. Gejala Klinis/ Pemeriksaan Fisik
1. Jitteriness
2. Sianosis
3. Kejang atau tremor
4. Latergi dan menyusui yang buruk
5. Apnea
6. Tangisan yang lemah atau bernada tinggi
7. Hipotermia
8. RDS (bayi sakit atau stress). (Ai Yeyeh. dan Lia. 2012)

d. Penatalaksaan Hipoglikemia
1. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
a. Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam.
b. Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan.
c. Kadar glukosa ≤  45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia
d. Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai. (Dwi Maryanti. dkk. 2011) 

e. Pemantauan 
Bayi-bayi dengan faktor resiko dipantau sebelum makan sampai glukosa darah diatas >45 mg/dL (>2,6 mmol/liter) pada dua kali pemeriksaan yang berbeda. Tidak perlu memantau kadar gula darah bayi pada bayi aterm yang berkembang normal yang sedang diberi ASI. Semua bayi yang membutuhkan perawatan intensif harus dipantau glukosa darahnya secara teratur.
Pemeriksaan glukosa darah harus dilakukan di tempat tidur dengan glukometer, yang hanya membutuhkan satu tetes darah. (Tom dan Avroy. 2008)  

B. TETANUS NEONATORUM
a. Definisi Tetanus Neonatorum
Neonatus adalah organisme pada periode adaptasi kehidupan intra uterus ke kehidupan intra uterin hingga berusia kurang dari satu bulan (Dwi Maryati dkk, 2011).
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang system saraf pusat (Dwi Maryati dkk, 2011).

Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda utama spasme tanpa gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Disebut juga lockjaw karena terjadi kejang pada otot rahang. Tetanus banyak ditemukan di negara-negara berkembang. (Marmi, 2012)

b. Etiologi Tetanus Neonatorum
Penyebab penyakit ini adalah clostridium tetani. Kuman ini bersifat anaerobik dan mengeluarkan eksotoksin yang neorotropik. (Dwi Maryati dkk, 2011)

c. Manifestasi klinis
Masa inkubasi biasanya 3 – 10 hari. Gejala permulaan adalah bayi mendadak tidak mau atau tidak bisa menetek karena mulut tertututp (trismus), mulut mencucu seperti ikan, dapat terjadi spasmus otot yang luas dan kejang yang umum. Leher menjadi kaku dan kepala mendongak ke atas (opistotonus). Dinding abdomen kaku, mengeras dan kalau terdapat kejang otot pernapasan, dapat terjadi sianosis. Suhu dapat meningkat sampai 39ºC. Naiknya suhu ini mempunyai prognosis yang tidak baik. (Dwi Maryati dkk, 2011)

d. Tanda – Tanda Tetanus Neonatorum
Tanda-tanda jika seorang bayi mengalami tetanus neonatorum adalah :
Tiba-tiba demam/panas
Bayi tidak mau/tidak bisa menyusu (mulut tertutup/trismus)
Mulut mencucu seperti ikan
Mudah sekali kejang (misalnya kalau dipegang, kena sinar, atau kaget-kaget)
Disertai sianosis
Kuduk kaku
Posisi punggung melengkung
Kepala mendongak ke atas (opistotonus)

Pada pasien anak, ketika melakukan anamnesis sebaiknya ditanyakan:
1) Riwayat mendapat trauma, pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangrene gigi.
2) Riwayat tidak diimunisasi atau tidak lengkap imunisasi tetanus. (Marmi, 2012)
e. Derajat Penyakit
1) Derajat I (tetanus ringan)
Trismus ringan sampai sedang
Kekakuan umum : kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
2) Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekauan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
Takipneu
Disfagia ringan
3) Derajat III (tetanus berat)
Trismus berat
Otot spastis, kejang spontan
Takipneu, takikardia
Serangan apne (apneic speli)
Disfagia berat
Aktivitas system autonomy meningkat
4) Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan 
Gangguan autonom berat
Hipertensi berat dan takikardi, 
Hipotensi dan brakikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat (Marmi, 2012)
f. Penatalaksanaan
1) Antibiotik (penisilin prokain, ampisilin, tetrasiklin, metronidazole, eritromisi bila terdapat sepsis atau pneumonia dapat ditambahkan sefalospirin.
2) Netralisasi toksi
Anti tetanus serum (ATS), dilakukan uji kulit lebih dulu.
Bila tersedia, dapat diberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG)
Anti konvulsan (diazepam).
3) Perawatan luka atau port d’entrée dilakukan setelah diberi antitoksin dan antikonvulsan
4) Terapi suportif
Bebaskan jalan napas
Hindari aspirasi dengan menghisap lender perlahan-lahan dan memindah-mindahkan posisi pasien
Pemberian oksigen
Perawatan dengan stimulasi minimal
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila trismus berat dapat dipasang sonde nasogastrik
Bantuan napas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
Pemantauan atau monitoring kejang dan tanda penyulit
Tetanus ringan dan sedang
Diberikan pengobatan tetanus dasar.
Tetanus sedang
Terapi dasar tetanus
Perhatian khusus pada keadaan jalan napas (akibat kejang dan aspirasi)
Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral
Tetanus berat
Terapi dasar seperti di atas
perawatan di ICU, diperlukan intubasi dan ventilator
Keseimbangan cairan dimonitor secara adekuat
Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromida 0,02mg/kg IV, diikuti 0,05mg/kg/kali, diberikan tiap 2-3 jam
Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propranolol/a dan b-blocker labetalol.

g. Pencegahan
1) Imunisasi aktif
Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun.
2) Pencegahan pada luka
a) Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.
b) Luka ringan dan bersih
Imunisasi lengkap: tidak perlu ATS atau tetanus immunoglobulin
Imunisasi tidak lengkap: imunisasi aktif DPT/DT
c) Luka sedang atau berat dan kotor
Imunisasi (-)/tidak jelas: ATS 3000-5000 U, IV, tetanus immunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain
Imunisasi (+), lamanya sudah >5tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, IV, tetanus immunoglobulin 250-500 U. (Marmi, 2012)

DAFTAR PUSTAKA
Marmi. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, Dan Anak Prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lissauer, Tom. Fanaroff, Avroy. 2008. At A Glance Neonatologi : Erlangga.
Maryanti, Dwi. dkk. 2011. Buku Ajar Neonatus Bayi& Balita. Jakarta : TIM.
Rukiyah, Ai Yeyeh. Yulianti, Lia. 2012. Asuhan Neonatus Bayi & Anak Balita. Jakarta : TIM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar